6.03.2009
Persib sepertinya sudah kadung menjadi ikon Kota Bandung. Koran-koran lokal Bandung seperti Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, dan Galamedia, acapkali menampilkan Persib sebagai headline mereka. Lihatlah halaman depan tiga surat kabar tersebut pada Rabu, 3 Juni 2009, semua menampilkan berita tentang buntut kekalahan Persib melawan Persitara Jakarta Utara yang berlangsung sehari sebelumnya.
“Persib menjadi bagian penting policy pemberitaan utama surat kabar di Bandung,” ujar budayawan, Hawe Setiawan. Penulis buku Sepuluh Pelajaran Wartawan ini mengungkapkan, Persib seolah sudah menjadi bagian penting bagi citra diri orang Bandung pada khususnya.
Apakah ini adalah sebuah tanda bahwa Persib bukan sekedar urusan sepakbola semata? Secara tegas Hawe mengatakan, “Persib bagi saya adalah persoalan budaya, sosial, dan bahkan politik. Sepakbola hanyalah area kecilnya saja.”
Hawe menyatakan hal tersebut saat ditemui wartawan Jurnal Persib Online, Rivki Maulana, di bekas gedung Universitas Bandung Raya, Jalan Rangga Gading, 22/5 silam.
Berikut petikan wawancara:
Saya melihat, Persib sepertinya bukan sekedar tim sepak bola, di Bandung, Persib seolah telah menjadi ikon kota. Di seantero Pulau Jawa bagian barat pada khususnya, animo masyarakat terhadap Persib begitu tinggi. Misalnya, kelompok suporter persib, Viking, sudah punya distrik yang tersebar di seluruh wilayah Jawa Barat, bahkan Jakarta dan Lampung. Bagaimana tanggapan Anda?
Persib telah menjadi bagian penting bagi sebagian besar warga Bandung bagi citra diri mereka. Bahkan, sebagian orang –untuk sementara waktu– sering mengatakan, Ikon Bandung itu ada tiga; Persib, Unpad, dan Koran Pikiran Rakyat.
Mungkin, pada batas tertentu keberadaan Persib telah melekat pada diri warga Bandung yang lantas mereka tunjukan sebagai identitas diri mereka di tengah-tengah masyarakat lainnya.
Setiap kota punya klub sepakbola masing-masing dan Bandung punya Persib. Seolah–olah right or wrong is my Persib. Ada semacam nasionalisme ‘lokal’ dalam arti yang populer. Paling tidak, klub tersebut bisa menjadi saluran hasrat bagi warga Bandung untuk berkelompok. Melakukan aktivitas ringan, bergembira, bahkan untuk hal-hal yang agak serius semisal membuat lagu (Kompilasi Album Viking - red), membuat semacam FO (Viking Fanshop – red ).
Selain itu, Persib juga menjadi sebuah alasan untuk menerbitkan majalah tersendiri (Persib Magz, Maung Bandung, Persib Plus, Bobotoh – red ). Persib dijadikan alasan bagi sebuah kegiatan kreatif.
Jadi bisa dikatakan, Persib juga persoalan budaya?
Ya. Persib bagi saya adalah masalah budaya. Ini berkaitan dengan nilai-nilai, sikap kolektif, kecemasan kolektif, harapan, impian, ruang publik dan kebijakan politik. Bahkan mungkin dengan agama. Bobotoh tertentu, di dalam event orahraga barangkali menemukan pengalaman batin yang kita tidak tahu bagaimana bentuknya, bisa saja kan? (sambil tersenyum).
Ketika Persib bisa mengalahkan lainnya dalam satu pertandingan LSI misalnya, koran-koran lokal langsung memuat kemenangan Persib itu sebagai headline mereka. Jadi, Animo masyarakat terhadap Persib itu begitu tinggi. Apa kaitannya dengan identitas yang melekat tadi?
Seingat saya, Pikiran Rakyat tidak pernah menempatkan berita kejayaan Persib di halaman dalam, selalu di front page.
Hal itu bisa dilihat sebagai representasi dari psiko-kolektif, alam batin sejumlah warga Bandung. Dan saya pikir koran lainnya juga punya kecenderungan yang sama. Persib menjadi bagian penting policy pemberitaan utama surat kabar di Bandung. Persib telah menjadi selebritis tersendiri.
Apakah, penempatan Persib di headline surat kabar menjadi semacam romantisme kejayaan masa lalu karena selama kurun waktu 13 tahun lebih persib mengalami wan prestasi? Lantas hal tersebut menjadi bagian yang sangat penting terkait dengan melekatnya Persib di benak masyarakat Bandung?
Saya pikir, seharusnya secara ideal sebuah klub sepakbola itu tidak punya persepsi tentang puncak kejayaan masa lalu karena dengan begitu masa kini, akan diartikan –secara sadar atau tidak– sebagai gerak mundur. Tapi saya pikir ini hanya masalah kenangan kolektif, sebagai rujukan.
Hal itu menunjukan keberadaan Persib di tengah perkembangan Kota Bandung itu sendiri?
Saya tidak tahu sejak kapan, tapi nampaknya –dan lebih tepa – Persib disebut sebagai ikon Kota Bandung sampai sekarang, paling tidak untuk kalangan remaja dewasa.
Ikon ini akan semakin kuat jika sejalan dengan sisi ekonominya?
Ya betul, seperti yang saya katakan sebelumnya soal Distro Viking itu kan. Tinggal sekarang bagaimana Persib tidak bergantung lagi terhadap peran pemerintah. Idealnya klub olahraga seperti Persib bisa mandiri secara ekonomi dan tentunya mandiri secara budaya. Bahkan bisa juga menjadi semacam counter culture.
Apa arti mandiri secara budaya?
Mandiri dalam arti dia mengeksplorasi, menciptakan nilai-nilai, bentuk-bentuk ekspresi yang dikembangkan berasal dari lingkungan internalnya, bukan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan yang berada di luar dirinya.
Pembuatan lagu, desain kaos, apakah hal itu juga merupakan bentuk dari mandiri secara budaya?
Ya. bisa dibilang jalan ke arah mandiri secara budaya itu sudah terbuka. Persib sekarang sudah harus lebih banyak berpaling kepada para pecintanya sendiri karena di situlah sumber kekuatan Persib sesunggunya, bukan pemerintah.
Pemerintah bisa berganti-ganti, ganti pemerintah ganti kebijakan. Terlebih, komitmen terhadap Persib pun tidak muncul lewat proses yang sama dengan para bobotoh.
Karena hanya kebetulan ada dana sedikit untuk olahraga, atau hanya karena ingin mendapat simpati kolektif untuk kepentingan politik tertentu.
Bisa dikatakan, komitmen pemerintah itu tidak tulus, ada udang di balik batunya?
Ya. Ini kan berbeda dengan Viking misalnya, mereka saya lihat komitmennya muncul dari perasaan yang spontan.
Ketika Persib terus bergantung kepada penguasa apakah ini indikasi Persib terus dipolitisasi oleh penguasa untuk kepentingan politik tertentu?
Secara politik ya dan saya kita jangan sampai Persib mau membiarkan dirinya menjadi instrumen politik dari unsur politik manapun, apakah itu calon walikota, pejabat, maupun partai politik. Yang harus difokuskan itu adalah bagaimana Persib betul-betul menjadi klub olahraga. Persib tetaplah harus menjunjung sportivitas karena di situlah makomnya (tempat seharusnya) Persib.
Persib bukan organisasi politik, tapi organisasi olahraga.
Beberapa pihak menganggap Persib milik publik sehingga peran pemerintah di sana tetap harus ada. Bagaimana mekanisme yang tepat agar Persib ini tetap milik publik tapi tidak juga dipolitisasi?
Mungkin kita bisa mencontoh BBC, dia media publik, dia didanai oleh dana dari publik. Dalam pemberitaan, BBC bisa sangat keras terhadap pemerintah karena memang dia tidak bertanggung jawab kepada pemerintah.
Bukan tidak mungkin Persib bisa meniru BBC meski konteksnya agak berbeda. Jadi Persib bisa mengandalkan dana publik tetapi mekanismenya yang harus dipikir ulang. Jangan sampai terjadi kekacauan penggunaan dana publik dengan loyalitas publik figur politik tertentu.
Persib menerima dana dari APBD itu dimaksudkan sebagai wujud dari komitmen publik terhadap keberadaan Persib. Para pengurus, massa pendukung Persib juga jangan mau dipolitisasi oleh kekuatan politik tertentu. Tantangannya adalah bagaimana Persib, pengelola, suporter bisa mandiri dan menjadi elemen penting dalam masyarakat sipil.
Apakah Anda melihat fanatisme bobotoh bisa mengarah pada bentuk-bentuk primordialisme?
Saya kurang begitu yakin akan mengarah ke sana (primordialisme – red). Memang, dalam batas tertentu dia bisa mengarah ke situ, tapi bukan dalam bentuk primordialisme yang konvensional seperti suku, agama, dan ras. Tapi tetap Persib adalah klub olahraga. Ini erat kaitannya denga pentingnya event. Olahraga itu sendiri kan sebenarnya ingin mengatasi berbagai rintangan seperti etnis, politik, bahkan ideologi.
Mungkin saja, tatkala nasionalisme tidak jelas juntrungannya, ideologi lain bangkrut, olahraga bisa menjadi ideologi baru.
Sebagai stake holder utama, terkadang suporter juga melakukan tindakan yang justru merugikan tim kesayangannya. Seberapa jauh bahaya fanatisme bobotoh itu sendiri terhadap Persib?
Berbahaya ketika faktor pendidikan dalam arti luas diabaikan. Yang kita harapkan tentunya bobotoh yang educated dalam arti dia mengedepankan pengetahuan yang menjadi dasar dia bertindak dan tidak menonjolkan keberingasan. Fanatisme sangat berbahaya ketika faktor pendidikan diabaikan dalam arti terwujud upaya-upaya yang memungkinkan bobotoh menyaluran fanatismenya tanpa kehilangan rasionalita
Bentuk pendidikannya sendiri bagaimana? Tidak harus formal kan?
Tidak, Pendidikan ini bisa dilakukan secara informal, bisa lewat ceramah, diskusi, display-display pamflet, dll. Tapi memang, vandalisme suporter itu juga merupakan hal yang melekat di mana-mana. Di Eropa sendiri kan ada hooligan. Untuk itu seluruh elemen masyarakat saya pikir perlu untuk mengawal agar penyaluran fanatisme ini ada pada tempatnya. Sayangnya ini belum dilakukan karena masalah bobotoh masih dianggap sebagai masalah olahraga. Padahal, masalah bobotoh ini sudah bukan urusan olahraga semata, tapi juga masalah sosial, ekonomi, bahkan politik.
Beberapa waktu yang lalu terjadi pemboikotan film Romeo dan Juliet oleh Viking. Terlepas dari isi film tersebut, apakah tindakan itu adalah sebuah aksi yang elegan?
Sama sekali enggak elegan. Itu bertentangan dengan semangat masyakat sipil yang mengandaikan tatanan yang ditandai sikap terbuka dan toleran.
Ini juga berkaitan dengan tanggung jawab media juga sebetulnya. Konflik antara The Jak dan Viking ini hal yang semu, seperti sebuah panggung permainan. Mengapa menjadi hal yang serius, mungkin ada keterkaitan dengan penafsiran media terhadap keberadaan Viking, jak mania, dan lain-lain.
Bobotoh sepertinya Reaksioner, apakah sikap ini timbul karena film tersebut cenderung provokatif atau kontoversial?
Ya, memang reaksioner. Tapi dari pihak pembuat film sendiri, apakah sudah ada karakter yang educated, dalam mencitrakan sebuah kelompok?
Selain itu juga terdapat simplifikasi berlebih dalam pencitraan kelompok di kalangan media massa. Misal menggambarkan orang sunda sebagai orang yang suka tukang kawin dalam sitkom suami-suami takut istri. Itu kan stereotip, pasti banyak orang 'gak setuju dan itu stereotip yang tidak perlu, tidak produktif.
Jadi di satu pihak fanatisme berlebih, di pihak lainnya ada simplifikasi berlebihan di dalam representasi kenyataan. Akhirnya yang terganggu kan tatanan masyarakat sipil. Ketika kepalan tangan sudah teracung, sesungguhnya tatanan masyarakat sudah terganggu. Orang tidak percaya lagi pada penyelesaian perbedaan secara rasional.
12 Comments:
ini tulisan km brotha'????
wah tidak sia-sia sy ngalah ga kuliah lagi...hihi
utk tulisannya saya ga punya comment...hidup persib weh lah...pokona mah..
haha, iya dong,,keliling kota cari narasumber ini..haha
rivki proletariawan
ckckc...pinter juga otak lo ki nulis ginian..heheh..kidding..
kalo dipikir-pikir,,masyarakat bandung lebih sayang sama persib daripada negara yah...(ya iyalah)
bingung komen apaan,,but nice post,hehe..persib bisa buat bobotoh ngelakuin apa aja sepertinya..
coba diselipin komentar dari salah satu bobotoh ki..
riendy
kalo lo parhatiin, Hawe setiawan bilang ada semacam nasionalisme lokal,, nh itu persib maksudnya.
yeah,,, persib emang bukan cuma sepak bola. persib juga berkaitan sama politik dan budaya,,,
oke lah hasil wawancaranya..
good job guys!
ok, memang persib lebih dari sekedar sepakbola...
hmm...klo klub sepak bola ditiap daerah kayanya g cuma sekedar olahraga aja
mungkin politik,sosbud,ekonomi or pendidikan juga bisa masuk
asal semua seimbang mah kayanya sah2 aja tapi bisa g ya..??
yazid h
ti bogor abdi mah
hmm..
emang ikon bandung itu persib, unpad dan PR ya ki? baru tau gw.. hehe
iya, gw setuju persib bukan sekedar berkaitan sama olahraga. tapi lebih kepada ikon bandung, gaya hidup, dan budaya masyarakat.
bagi bobotoh atau viking atau apapunlah itu (gw ga begitu ngerti), persib itu harga mati. mereka, menurut pandangan gw, fanatik.
tapi fanatisme mereka bisa jadi pahala atau masalah. :P
pahala ya kalo fanatisme mereka dialokasiin buat hal2 positif kaya bikin lagu, kaos yang bisa ngedorong mereka lebih kreatif.
atau malah jadi masalah ketika fanatisme berujung anarkis.
gw suka angle yang diangkat di wawancara. persib is more than just a sport klub. its life. its dream. its culture. its lifestyle. :P correct me if im wrong.
soal bobotoh/viking yang ngeboikot film romeo juliet, mungkin mereka masih menganut sistem masyarakat tradisional yang kurang bisa menerima dengan terbuka suatu pemikiran. hehe.. bukan manusia2 modern berarti haha :P
love this interview.
semangat!!
ok thanks bi,,dibilang salah satu ikon bandung itu Unpad, mungkin, karena kang Hawe kan jebolan Unpad juga, hehe, beliau jurnalistik 87 bi..
gw jg stuju klo persib dbilang ikon kota bandung, mungkin jg bs dbilang dewa kali ya..hehe
tp yg gw ga stuju tuh knapa klo persib main dkandang (bandung), kendaraan dgn plat nomer 'B' seolah menjadi "incaran" sekelompok org yg memakai atribut persib atw viking..soalnya tmn gw sndiri yg kena. Padahal dya jg ga ngapa2in, cm kbetulan aja lewat..
orang waras mana sih yang setuju dengan tindakan pengrusakan sewenang-wenang, gak ada saya pikir,,,
itulah yang kang hawe bialg simplikasi berlebihan,, mentang-mentang plat B, dianggap orang jakarta, orang jakarta pasti The Jak mania...
gw setuju bgt klo persib emang bukan sekedar bola tapi budaya... tapi bukan cuma persib aja si, yha emang bola itu dimana-mana udah bagian dari budaya...
Post a Comment